Minggu, 28 Februari 2016

Budaya Pamit

Selepas Shalat Maghrib berjamaah, kami melanjutkan kegiatan masing-masing – saya dan Dik El naik ke lantai atas, membuka kembali laptop kami untuk menyelesaikan tugas yang terhenti ketika memasuki waktu terbenamnya matahari, sedangkan Bapak dan Ibu berkantor di lantai bawah. Suara percakapan Bapak dan Ibu terus terdengar ketika kami menaiki tangga, menyeberangi jembatan (yes. literally. jembatan. di dalam rumah), dan sampai di sebuah panggung kayu berpagar yang tepat berada di atas ruang kerja Bapak dan Ibu.

Seperti anak muda pada umumnya, kami gemar mendengarkan lagu ketika berlaptop ria. Headset tertancap di kuping kami masing-masing, menyamarkan suara-suara dari lantai bawah. Tak terasa sudah 45 menit kami duduk terpaku pada laptop, sesekali kami meneguk air putih dari botol yang terletak di samping kami. Sebentar lagi adzan Isya', kami segera mematikan playlist lagu di YouTube dan melepas headset. Terdengar suara ketikan laptop Ibu yang diselingi percakapan singkat dengan Bapak. Selepas adzan Isya', kami tetap berada di atas, berencana untuk sholat setelah menuntaskan tugas, dan lagu pun kembali diputar. Setengah jam kemudian, saya akhirnya menyelesaikan (atau lebih tepatnya menganggap selesai untuk sementara) satu artikel untuk ditambahkan di website URtravelearner. Berhubung botol minum saya juga sudah kosong, saya memutuskan untuk turun ke bawah.

Hening, sunyi senyap.

Dimana Bapak dan Ibu? Kucari di setiap ruangan lantai bawah... tidak ada. Bisa dipastikan beliau berdua tidak pergi keluar karena kami memiliki kebiasaan pamit setiap kali akan pergi. Adalah sebuah hal yang perlu dicurigai jika ada anggota keluarga yang tidak ada di rumah tanpa pamit. Atau jangan-jangan tadi Bapak dan Ibu pamit tapi kami tidak mendengarnya karena asyik mendengarkan lagu dengan headset? Saya menanyakan kepada Dik El, apakah tadi mendengar suara Ibu atau Bapak pamit? Karena beliau berdua tidak ada di bawah. Dia malah terkejut dan menanggapinya dengan serius. Dik El akhirnya turun ke bawah, menemani saya mencari orangtua kami (berasa di sinetron putri yang tertukar, mencari keberadaan orangtua asli mereka, hahaha).

Samar-samar, kami mendengar suara seorang perempuan menahan tawa dari halaman belakang yang gelap gulita karena lampu tamannya mati, konslet terguyur hujan deras. Ternyata oh ternyata... Ibu dan Bapak sedang duduk-duduk di gazebo selepas Shalat Isya'. Di tengah kegelapan taman, hanya mukena putih Ibu yang terlihat jelas dari dalam ruangan.

Rabu, 24 Februari 2016

Pentil Ban Motor

Hai Sedulur,

Udah lama si anak tengah ini nggak nulis blog. Mungkin halamannya sudah ditumbuhi rumput liar dan berandanya dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Hingga akhirnya ada Mbak dan Mas yang secara kebetulan di hari yang sama tanpa janjian (apa coba kalo bukan sehati namanya ƪ(˘⌣˘)ʃ ulala) mengirim pesan ke saya dan membuat saya bersemangat lagi untuk kembali menulis, berbagi pengalaman, menebarkan pesan positif lewat blog yang sukacita ini  ( ̄³ ̄)╯*bunga bertaburan. Maturnuwun.

So, saya akan memulainya dengan tulisan berjudul "Pentil Ban Motor":

Malam ini, Ibu bercerita tentang pengalamannya saat berkunjung ke School of Life Lebah Putih (LP) tadi siang, hingga beliau teringat akan kejadian beberapa waktu silam tentang murid-murid kelas 2 SD di sekolah milik beliau tersebut.

Secara rutin, 1 minggu sekali, kakak-kakak** LP berkumpul di Padepokan Margosari (sekitar 1,5 km dari LP) untuk evaluasi dan diskusi rencana satu minggu ke depan. Biasanya, kakak-kakak selalu datang tepat waktu, namun Senin sore ini tidak biasa: tak ada seorang pun yang hadir di ruang pertemuan hingga 30 menit setelah waktu yang ditentukan. Ibu heran, dimana kakak-kakak LP sore ini? Setelah ditelisik, ternyata rapatnya pindah ke tukang tambal ban! Seluruh kakak bersabar dengan hati gusar, menanti sang bapak menambal ban motornya yang bocor. Ada apa gerangan? Tetiba semua ban motor kakak LP bocor.


Lewat telepon, seorang kakak bercerita bahwa ketika jam istirahat, anak-anak kelas 2 bermain di dekat parkiran, kemungkinan mereka mengutak-utik motornya dan menggembosi ban motor dengan paku yang ditemukan di sekitar parkiran. Apakah mereka anak-anak nakal? Eit, jangan cepat-cepat memberi "label negatif" pada anak. Kita perlu caritahu apa maksud atau alasan yang mendasari perbuatan tersebut.

Keesokan harinya, Ibu datang ke Lebah Putih dan mengobrol dengan murid kelas 2. Ketika ditanya mengenai ban yang bocor, seorang anak menjawab:

"Kami penasaran tentang pentil ban sepeda motor, Bu. Apa fungsinya? Apa yang akan terjadi jika tutupnya kami lepas? Kemarin kami bereksplorasi dengan motor-motor yang ada di parkiran."

Murid yang lain menyahut, "Tidak hanya pentil, kami juga melakukan percobaan menancapkan paku ke ban motor. Ternyata tidak meledak seperti kalau kita menancapkannya ke balon."

Ternyata oh ternyata, itu semua bagian dari Intellectual Curiosity mereka yang sedang berkembang.



**di Lebah Putih, kami menyebut Guru dengan panggilan "Kakak".