Kamis, 15 September 2016

Lost in Malang

*Ini sebenernya kejadian bulan Maret lalu, tapi lupa dipublish, hehe.. enjoy!


Keluarga kami suka ngebolang tanpa GPS di luar kota. Ibu biasanya menjadi petunjuk jalan kami. Ketika Ibu tidak ikut, beginilah isi percakapan kami selama perjalanan kembali ke hotel:

Bapak: "Rasanya jalan ini familiar."
Ara + Elan: "Hmm... iya ya..."
Bapak: "Kita tadi waktu berangkat lewat sini?"
A + E: saling pandang, serentak menjawab "Nggak."

Bapak bingung.

Ketika melewati jalanan turun...
Bapak "Aha! Bapak ingat kalau ada turunan. Bapak tahu sekarang."
Ara: "Bapak tahu jalan pulangnya?"
Bapak: "Bapak tahu... tahu kalau kita tersesat."

😅😅😅

Elan: "Yasudah kita pakai Google Maps saja kalau begitu."
Bapak: "Oke, tolong search jalan pulang ya, Mas."
Elan: "Tujuannya kemana pak?"
Bapak: "Ke hotel kita tadi."
Ara: "Bentar, nama hotel kita apa ya?"

Kami lupa nama hotelnya... hotel tersebut dipesankan oleh panitia, semalam kami diantar panitia sampai hotel, ketika check in kami sudah ngantuk, terima kunci, langsung jalan ala zombi ke kamar dan tidur.

Zonk.

Land of The Rising Sun - departure day

It's the d-day!

Professionals, social entrepreneurs, students and community developers from various parts of Indonesia were gathered at Soekarno Hatta International Airport 5 hours prior to the departure time to collect our passports and visas as well as having brief explanation about the journey. There are people from Bali, Flores (East Nusa Tenggara), Kendari (Southeast Sulawesi), Temanggung (Central Java), Banjar (West Java), Bogor (West Java), and many more. Indonesia is a really wide country. It's often referred to as the world's largest archipelago. If there's no such event, it would be difficult to meet each one of them in a short period of time due to the distance and time availability.

Anyway, I was soooo excited to spend the next 8 days with these great people who share the same interest on villages!


See that giant tosca "wardrobe" on the right? I thought that everyone will bring the big luggage, just like me, since we'll stay there for more than a week, but turned out to be mine is the largest among all. Well, saya nggak suka yang setengah-setengah, kalau kecil ya kuecil sekalian, kalau besar ya pakai yang pualing buesar (padahal emang nggak punya koper ukuran medium hahaha).

Small things that can help others.

As the founder and owner of UR Travelearner, I used to arrange the itinerary, manage the documents and guide a group of 15-20 people on a trip. Being on a trip with around 15 people today had triggered my "tour guide" soul to help other participants to make the trip more convenient. This is a great chance to make friends with others. 

We waited near the check-in counter around 10 minutes before the check-in time. Soon as the officer arrived, I told them that we would like to have a group check in and asked what should we do next. They instructed us to gather around one counter, together with our baggage. Mbak Sisca, the group leader, and I then collected the passports of all participants and gave it to the officer once the counter has opened. Yes, most of the time you only need to show your passport for check in, no need to print your booking code or receipt. Anyway, collecting others' passports had helped me to remember the name of each participants, hehehe...

Well, there are a lot of small things that can we do that give benefits to others, and many of them don't require big effort or cost.

Info seputar group check-in.
  • Di beberapa bandara, pada maskapai tertentu, terdapat counter khusus group check-in.
  • Berat seluruh bagasi akan diakumulasi jadi satu. Tidak masalah jika ada salah satu bagasi yang over-weight jika ada anggota lain yang masih memiliki jatah bagasi. Misal ada 10 orang dalam 1 grup. Masing-masing penumpang mendapat jatah 20 kg. Berarti, berat maksimum bagasi dalam grup tersebut adalah 10 x 20kg = 200 kg. Tidak apa jika ada satu penumpang yang membawa lebih dari 20 kg, asalkan jika diakumulasi semua barang dalam 1 grup tsb kurang atau sama dengan 200 kg. *entah kenapa di tangan saya penjelasannya jadi rumit 
  • Bagasi akan diatasnamakan perseorangan, tidak grup. Satu-persatu penumpang akan dipanggil untuk identifikasi tanda pengenal sambil membawa barang yang akan dimasukkan ke dalam bagasi pesawat.
"Ke Jepang dari Hongkong?!" literally.

Kami transit di Hongkong selama kurang lebih 5 jam sebelum terbang ke Fukuoka, Jepang.

Pagi-pagi sudah ramai.
Antre beli sarapan di satu-satunya warung halal yang kami temui di bandara: Popeye.
Kacanya guede dan luebar, bagus untuk siluet.
Suasananya mengingatkan saya akan Singapura.
Menunggu pesawat ke Fukuoka.

Finally, our plane had arrived here. Time to board the aircraft. See you in the next 4 hours, Japan!

Senin, 22 Agustus 2016

Land of the Rising Sun - preparation day

As the marketing director of Spedagi – bamboo bike for village revitalization, I was invited to talk about the business aspect of our bamboo bike project on the 2nd International Conference on Village Revitalization (ICVR) held in Ato Village, Yamaguchi, Japan. This would be the first time I set foot in the Land of the Rising Sun.

One week before the departure, I listed down the items that should be brought to Japan and packed them soon. I usually pack my belongings just one day before going on a trip, but this time was different. Since it's my first experience traveling to Japan and I had another event and appointment in 2 different cities before flying there, I need to be well-prepared to avoid any rush or left-behind things.

It seems that there were always something that I forgot to put in or need to do during the preparation until I consider myself to be done and ready to go. It felt so calm when we are well-prepared.

I was wondering... what if we knew when we will leave this world, forever, just like when we know the schedule of our upcoming trip? Would we prepare long before the d-day? One day, would, or perhaps, could I consider myself to be done and ready to go?

I imagine that I would have numerous things to do and it would increase as time goes by approaching the d-day. Still, we could manage the schedule, when will we do this and that, if we knew the time. Yet in fact, we don't know when we will die. Does the preparation become more dense? Or will we even prepare for this special trip?

Well, let's just do our best.
"The best preparation for tomorrow is doing your best today." - H. Jackson Brown Jr.
Live our lives as if we will depart tomorrow, or even in the next second.


*anw, ini kenapa malah jadi tulisan motivasi hidup?

Minggu, 28 Februari 2016

Budaya Pamit

Selepas Shalat Maghrib berjamaah, kami melanjutkan kegiatan masing-masing – saya dan Dik El naik ke lantai atas, membuka kembali laptop kami untuk menyelesaikan tugas yang terhenti ketika memasuki waktu terbenamnya matahari, sedangkan Bapak dan Ibu berkantor di lantai bawah. Suara percakapan Bapak dan Ibu terus terdengar ketika kami menaiki tangga, menyeberangi jembatan (yes. literally. jembatan. di dalam rumah), dan sampai di sebuah panggung kayu berpagar yang tepat berada di atas ruang kerja Bapak dan Ibu.

Seperti anak muda pada umumnya, kami gemar mendengarkan lagu ketika berlaptop ria. Headset tertancap di kuping kami masing-masing, menyamarkan suara-suara dari lantai bawah. Tak terasa sudah 45 menit kami duduk terpaku pada laptop, sesekali kami meneguk air putih dari botol yang terletak di samping kami. Sebentar lagi adzan Isya', kami segera mematikan playlist lagu di YouTube dan melepas headset. Terdengar suara ketikan laptop Ibu yang diselingi percakapan singkat dengan Bapak. Selepas adzan Isya', kami tetap berada di atas, berencana untuk sholat setelah menuntaskan tugas, dan lagu pun kembali diputar. Setengah jam kemudian, saya akhirnya menyelesaikan (atau lebih tepatnya menganggap selesai untuk sementara) satu artikel untuk ditambahkan di website URtravelearner. Berhubung botol minum saya juga sudah kosong, saya memutuskan untuk turun ke bawah.

Hening, sunyi senyap.

Dimana Bapak dan Ibu? Kucari di setiap ruangan lantai bawah... tidak ada. Bisa dipastikan beliau berdua tidak pergi keluar karena kami memiliki kebiasaan pamit setiap kali akan pergi. Adalah sebuah hal yang perlu dicurigai jika ada anggota keluarga yang tidak ada di rumah tanpa pamit. Atau jangan-jangan tadi Bapak dan Ibu pamit tapi kami tidak mendengarnya karena asyik mendengarkan lagu dengan headset? Saya menanyakan kepada Dik El, apakah tadi mendengar suara Ibu atau Bapak pamit? Karena beliau berdua tidak ada di bawah. Dia malah terkejut dan menanggapinya dengan serius. Dik El akhirnya turun ke bawah, menemani saya mencari orangtua kami (berasa di sinetron putri yang tertukar, mencari keberadaan orangtua asli mereka, hahaha).

Samar-samar, kami mendengar suara seorang perempuan menahan tawa dari halaman belakang yang gelap gulita karena lampu tamannya mati, konslet terguyur hujan deras. Ternyata oh ternyata... Ibu dan Bapak sedang duduk-duduk di gazebo selepas Shalat Isya'. Di tengah kegelapan taman, hanya mukena putih Ibu yang terlihat jelas dari dalam ruangan.

Rabu, 24 Februari 2016

Pentil Ban Motor

Hai Sedulur,

Udah lama si anak tengah ini nggak nulis blog. Mungkin halamannya sudah ditumbuhi rumput liar dan berandanya dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Hingga akhirnya ada Mbak dan Mas yang secara kebetulan di hari yang sama tanpa janjian (apa coba kalo bukan sehati namanya Æª(˘⌣˘)ʃ ulala) mengirim pesan ke saya dan membuat saya bersemangat lagi untuk kembali menulis, berbagi pengalaman, menebarkan pesan positif lewat blog yang sukacita ini  (ノ ̄³ ̄)╯*bunga bertaburan. Maturnuwun.

So, saya akan memulainya dengan tulisan berjudul "Pentil Ban Motor":

Malam ini, Ibu bercerita tentang pengalamannya saat berkunjung ke School of Life Lebah Putih (LP) tadi siang, hingga beliau teringat akan kejadian beberapa waktu silam tentang murid-murid kelas 2 SD di sekolah milik beliau tersebut.

Secara rutin, 1 minggu sekali, kakak-kakak** LP berkumpul di Padepokan Margosari (sekitar 1,5 km dari LP) untuk evaluasi dan diskusi rencana satu minggu ke depan. Biasanya, kakak-kakak selalu datang tepat waktu, namun Senin sore ini tidak biasa: tak ada seorang pun yang hadir di ruang pertemuan hingga 30 menit setelah waktu yang ditentukan. Ibu heran, dimana kakak-kakak LP sore ini? Setelah ditelisik, ternyata rapatnya pindah ke tukang tambal ban! Seluruh kakak bersabar dengan hati gusar, menanti sang bapak menambal ban motornya yang bocor. Ada apa gerangan? Tetiba semua ban motor kakak LP bocor.


Lewat telepon, seorang kakak bercerita bahwa ketika jam istirahat, anak-anak kelas 2 bermain di dekat parkiran, kemungkinan mereka mengutak-utik motornya dan menggembosi ban motor dengan paku yang ditemukan di sekitar parkiran. Apakah mereka anak-anak nakal? Eit, jangan cepat-cepat memberi "label negatif" pada anak. Kita perlu caritahu apa maksud atau alasan yang mendasari perbuatan tersebut.

Keesokan harinya, Ibu datang ke Lebah Putih dan mengobrol dengan murid kelas 2. Ketika ditanya mengenai ban yang bocor, seorang anak menjawab:

"Kami penasaran tentang pentil ban sepeda motor, Bu. Apa fungsinya? Apa yang akan terjadi jika tutupnya kami lepas? Kemarin kami bereksplorasi dengan motor-motor yang ada di parkiran."

Murid yang lain menyahut, "Tidak hanya pentil, kami juga melakukan percobaan menancapkan paku ke ban motor. Ternyata tidak meledak seperti kalau kita menancapkannya ke balon."

Ternyata oh ternyata, itu semua bagian dari Intellectual Curiosity mereka yang sedang berkembang.



**di Lebah Putih, kami menyebut Guru dengan panggilan "Kakak".