Kamis, 23 Mei 2013

Perantau

Sejak tanggal 10 Mei 2013 aku resmi jadi perantau. Merantau ke negeri orang, negeri tertib dan disiplin, negeri makmur tapi emotionless, negeri kecil nan mungil, negeri singa muntah, Singapura. Yup, sekarang aku sedang melanjutkan studiku di Singapura. Hari Senin tanggal 27 Mei 2013 akan menjadi hari pertamaku sekolah.

Aku berangkat ke Singapura dengan keluarga dan rekan kerja orang tuaku. Ya, perusahaan orang tuaku mengapresiasi unit-unit usaha yang berkembang baik dengan piknik ke Singapura. Kami sampai di Singapura pada tanggal 29 April 2013. Setelah piknik selama 3 hari, rekan-rekan kerja orang tuaku kembali ke Indonesia bersama ayah dan kakakku*. Ibu, Dik Elan, dan aku tetap tinggal di Singapura untuk mengurus administrasi sekolah. Kami tinggal di sebuah apartemen yang aku, kakakku, dan 2 orang temannya sewa bersama. Kebetulan lokasinya di tengah kota, sangat dekat dengan sekolahku, bisa ditempuh dalam waktu 10 menit apabila kita berjalan.
*Kakakku seharusnya juga sekolah di Singapura, tapi sedang liburan jadi pulang ke Indonesia.

Aku tidak merasakan perbedaan antara di rumah dan merantau di Singapura, serasa masih sekedar piknik, hanya waktunya lumayan lama. Mungkin itu karena ibu dan adikku masih berada di Singapura, meramaikan suasana. Perasaan piknik itu ternyata tidak lama, sampai tiba hari dimana ibu dan adikku harus pulang ke Indonesia. Malam sebelum ibu pulang, beliau mendekapku selama tidur. Mungkin ini terakhir kalinya aku dikeloni ibu saat tidur. Dalam beberapa bulan kedepan aku harus hidup mandiri, cuci baju sendiri, masak sendiri, setrika baju sendiri, bahkan ketika sakit pun aku harus tetap melakukan semuanya sendiri ( ya Allah semoga aku dan kakakku sehat terus selama di Singapur...).

Pagi-pagi sekali, ibu dan adikku sudah siap untuk berangkat ke bandara. Ketika kami bertiga sedang menikmati sarapan, tiba-tiba bel tanda kebakaran berdering kencang. Aku kaget, kukira bunyi telepon. Kuangkat telepon rumah, tapi suaranya masih juga terdengar. Ketika kubuka pintu apartemen suaranya makin kencang. Aku berlari ke kamar, menyelamatkan semua dokumen berharga. Kumasukkan semuanya ke dalam tas. Lututku bergemetar. Panik. Terbersit pikiran untuk membatalkan pulang kali ini di hati ibu. Ketika kami semua sudah siap berlari keluar, sirine kebakaran itu berhenti. Lega rasanya...

Kami bertiga pun melanjutkan sarapan kami yang tertunda dan segera berangkat ke bandara. Sesampainya di bandara, kami segera check in dan photo bersama. Ibu membuatkan list kegiatan harian yang harus aku laksanakan dari bangun tidur sampai tidur lagi, hanya untuk mengingatkan agar aku tidak lupa melaksanakannya, seperti menyapu, memasak air minum, mematikan semua saklar dan stop contact, dll. Ibu juga menuliskan kegiatan mingguan yang perlu aku lakukan, seperti menyuci baju, setrika, dan belanja.

Kami pun berpisah di bandara, dengan posisi aku yang mendadahi ibu dan adikku, agar aku tidak sedih dan tidak merasa ditinggal. Aku pulang menggunakan mrt yang berada di basement terminal 2 dan 3 Changi Airport. Sesampainya di lobby apartemen, kutanya satpam kenapa sirinenya bunyi tadi pagi, ternyata karena seesorang merokok dan asapnya mengenai sensor asap maka berderinglah sirine itu. Rasanya tenang setelah mendengar penjelasan satpam. Aku pun naik ke apartemenku, kubuka pintu, h e n i n g. Hanya ada aku dan bayanganku. Untuk meramaikan suasana aku chatting dengan bapak dan kakakku. Masih bosan, akhirnya aku pun menyalakan laptop dan menonton film.

Pukul setengah 4 sore, filmnya sudah selesai, kumatikan laptopku dan kulanjutkan chatting dengan bapak dan kakakku, ditambah ibuku yang sudah mendarat di Indonesia. Ketika sedang santai-santai di kamar sambil chatting-an, tiba-tiba bel kebakaran berdering lagi. Aku kaget, kali ini lebih takut, karena hanya sendiri, takut, iya, deg-degan, iya, apalagi sertifikat asuransiku di Singapura belum keluar, tapi panik, tidak, karena aku tahu harus melakukan apa. Kuulangi hal yang sama seperti tadi pagi, memasukkan semua dokumen penting, hp, dan uang ke dalam tas dan siap berlari menuruni tangga darurat. Saat akan berlari keluar kamar, belnya berhenti. Kecut!! Antara marah, kesal, sedih, takut, bercampur aduk. Aku pun menangis, nggak tau kenapa nangis, tapi pengen aja. Sejak ditinggal ibuku tadi pagi, baru sore ini aku menangis, dan itu bukan karena ditinggal ibu, tapi gara-gara takut, lebih tepatnya trauma dengan bunyi bel. Sesaat sesudah itu aku merasakan betapa sunyinya apartemenku setelah bel berhenti berdering. Aku mau mandi, takut belnya berdering lagi, aku mau masak untuk makan malam, takut belnya berdering lagi. Akhirnya aku hanya menenangkan diri di dalam kamar sambil terus chatting dengan keluargaku. Setelah tenang, aku pun mandi sambil membawa handphone ku ke dalam. Karena masih trauma dengan bel, aku memutuskan tidak memasak, akhirnya aku makan malam dengan buah, roti, dan susu. Tidak lupa juga aku mendownload aplikasi android yang berisi emergency number di Singapura.

Malamnya, aku tidak berani tidur, takut belnya berdering lagi. Ibu dan bapak meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa jika aku tidur. Bapakku berpesan untuk siaga, menyiapkan semua dokumen di dalam tas dan tidur memakai piyama panjang. Barangkali belnya berdering lagi, langsung bangun, tarik nafas, minum air putih, pakai jilbab, dan keluar membawa tas tersebut. Sedangkan ibuku berpesan: "Tenang aja mbak, nanti kalo sirinenya bunyi lagi, bangun, tarik nafas, minum air putih, dan tidur lagi. Nggak usah dipikirin." #lol

Setelah sikat gigi, kumatikan semua saklar dan stop contact, aku pun langsung ke tempat tidur dan menarik selimutku. Namanya juga ara, bilangnya sih takut tidur, tapi kalo lampu udah dimatiin yaaaa... langsung tidur dengan sangat pulas.

Tragedi trauma bel pun selesai. Esok paginya, aku sudah tidak takut lagi dan sudah lupa dengan trauma bel :P menjalani hari seperti biasa, memasak seperti biasa. Aku berkenalan dengan teman-teman mbak Enes dan olahraga bersama. Aku juga main ke tempat berkuda sekalian riding lesson di sana. Ternyata seru juga ya merantau! Serasa udah jadi anak gede, hehehe...

Maaf kalau ada bagian sedih dalam cerita di atas, menodai blog suka cita ini :P wkwkwk. Walaupun nama blog ini sukacita, tapi tidak selamanya isinya terus cerita bahagia. Hidup ini ada naik dan turun. Dalam bahagianya hidup kita, pasti juga ada saat dimana kita sedih. Ada suka, ada duka. *sok bijak*

 ƪ(ˆˆ)ʃ

4 komentar:

  1. Semangaaat dek araaa....

    Imam Syafi'i pernah berkata kurang lebih seperti ini, "pergilah, maka engkau akan mendapatkan pengganti dari apa yang kau tinggalkan",, kalau dek ara akhirnya merantau untuk hal yang baik, menuntut ilmu misalnya dengan meninggalkan segala suka cita yang ada di salatiga, maka Insya Allah, Allah akan menggantinya dengan segala suka cita di singapura :)

    BalasHapus
  2. makasih mbak :D amiiiin... sukses selalu ;)

    BalasHapus
  3. Luar biasa kamu dek. Salut deh sama perjuanganmu disana. Salam ya untuk keluarga, terutama Ibu yang sangat menginspirasi banyak orang :)

    BalasHapus
  4. assalamualaikum mba ara, ini tasya yang ikut kamtasia kemaren itu lho... ( inget gak, hayoo?)

    BalasHapus